Sabtu, 05 April 2014

Indahnya Menjadi Minoritas

YOU CAN BE ANYTHING, AND BE MINORITY!
Oleh Sukiman
 
Kontribusi Pendidikan
Tidak berlebihan predikat sebagai pengawal masa depan bangsa diberikan kepada guru. Pasalnya, pendidikan masih diyakini secara umum sebagai
cara terbaik untuk mempersiapkan generasi masa depan. Masa depan adalah milik generasi muda saat ini, oleh karena itu bagaimana kondisi generasi masa depan sangat ditentukan oleh kualitas peserta didik yang saat ini masih di meja pendidikan. Demikian pula halnya, kondisi para pemangku kepentingan (stake holder) saat ini dari lapisan bawah sampai dengan lapisan atas adalah cermin dari ”keberhasilan” pendidikan masa lalu, setidaknya pendidikan yang diterima pada masa lalu berkontribusi terhadap keberadaan mereka saat ini. Jika sekarang ini ada yang menjadi koruptor, manipulator, dll., menunjukkan ada sesuatu yang salah dari proses pendidikan yang mereka terima pada masa lalu.
Dan karena itu, apabila produk antagonis pendidikan tersebuttelah mewarnai kebanyakan orang, patut dipertanyakan dan mendapat perhatian dari insan pendidikan terkait dengan sistem penyelenggaraan pendidikan yang dijalankan selama ini.
Suatu hal yang terterima secara umum dinyatakan bahwa pendidikan yang berhasil ditandai, salah satunya adalah produk kelulusan siswa. Siswa yang bermutu adalah siswa yang terukur mutu pendidikannya. Dalam prakteknya mutu pendidikan diukur dari angka-
angka yang diperoleh lulusan setelah mereka menempuh satu tahapan belajar dalam kurun waktu tertentu (UTS/UAS) ataupun ujian akhir nasional (UAN). Sementara alat ukur penentu kualitas lulusan berupa paper and pencil test, suatu alat ukur yang hanya terkait dengan salah satu aspek pendidikan, yaitu kognisi. Sementara aspek lain, khususnya afeksi tak terjangkau dengan alat ukur tersebut. Pada hal aspek afektif berbicara tentang pertumbuhan perasaan, nilai-nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi dan sikap (Krathwohl, Bloom, Masia, 1973). Satu aspek yang keberadaannya sangat dibutuhkan agar seseorang dapat hidup dengan nyaman dengan lingkungan (to life together). Pendidikan yang mengembangkan aspek kognisi, dalam prakteknya mengutamakan rangsangan pada aspek logika-matematika dan bahasa serta keterampilan, sejatinya baru memberdayakan otak kiri. Sementara itu otak kanan yang notabene berisi daya kreatif, seni, imajinasi, angan-angan, dan ”melihat gambaran secara menyeluruh” belum mendapat rangsangan yang sama sebagaimana perangsangan yang diberikan pada belahan otak kanan. Ketimpangan perlakuan pendidikan ini diangkat dalam suatu perumpamaan apik oleh Tony Buzan (2005), pemilik hak paten Mind Mapping, sebagai berikut:
”Jika kami meminta Anda untuk berlari jarak pendek dengan ”seluruh kemampuan”, yaitu menggunakan kedua tangan dan kedua kaki, dan kami merekam penampilan Anda untuk mengamati efisiensi Anda, barangkali Anda akan melakukannya sesuai dengan aturan yang baik, atau bahkan sangat baik. Tetapi jika kami meminta Anda untuk mengulangi kegiatan ini, dengan hanya memperbolehkan Anda menggunakan separo kemampuan Anda. Untuk itu, kami mengikat pergelangan tangan kanan Anda ke pergelangan kaki kanan Anda dan meminta Anda untuk mengulangi lari jarak pendek. De
ngan setengah dari kemampuan yang Anda miliki, apakah hasil yang Anda capai juga menjadi setengah efektifnya? Jelas tidak. Hasil yang dicapai akan berkurang keefektifannya.”
Dari penjelasan Tony Buzan tersebut menengarai bahwa jika aktivitas berfikir hanya menggunakan daya dari satu belahan otak, diibaratkan seseorang berdiri dan berlari dengan satu kaki. Oleh karena pemberdayaan kedua belahan otak, sinergi otak kanan dan kiri, akan menjadikan hasil kerja lebih efektif.
 
Masalah Pembaharuan dalam Pendidikan
Penyikapan segera untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan tersebut mendesak untuk segera dilakukan. Sat u langkah ke arah perbaikan dilakukan pemerintah, dimulai dari pengubahan paradigma pendidikan, yakni dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (Teacher Centered Oriented) berubah ke pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (Student Centered Learning), yang dikenal dengan pembelajaran berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan konsekuensi logisnya terkait dengan kurikulum yang semula berbasis isi (KBI) berubah pada kompetensi. Perubahan dari KBI ke KBK dalam prakteknya tidak serta merta dapat dilaksanakan oleh pelaku pendidikan. Hal ini dikarenakan pengubahan kebiasaan lama ke kebiasaan baru menyangkut kepemilikan penguasaan pengetahuan terhadap sesuatu yang baru, menuntut keterampilan baru dalam mengaplikan pengetahuan, dan yang tak kalah penting adalah keinginan (good will) pelaku pendidikan untuk melaksanakan perubahan. Pemerolehan kebiasaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:



Ketiga faktor penentu pembentuk kebiasaan baru, yakni pengetahuan, keterampilan, dan keinginan keberadaannya merupakan satu kesatuan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Sebab pengetahuan tanpa keterampilan dalam menerapkan pengetahuan, hanya berhenti pada tataran teori. Sebaliknya penerapan keterampilan tanpa landasan teori akan menghasilkan tindakan yang bersifat coba-coba. Dan kedua faktor disebut pertama tidak akan ada maknanya manakala tidak ada faktor ketiga, ialah keinginan dari subjek untuk melaksanakannya.
Ada dua kompetensi yang diperlukan oleh guru untuk menimbulkan dorongan kuat untuk mewujudkan keinginan melakukan kegiatan, yaitu Inner Competencies, dan Outer Competencies (Taufik Tea, 2009).
Inner Competencies meliputi kecakapan dalam mengelola hal-hal yang berhubungan dengan dunia internal guru, mencakup kemampuan memahami hakikat belajar, meresapi hakikat mengajar, mengetahui prinsip belajar dan mengenali peserta belajar. Kecakapan ini disebut sebagai soft skills guru. Sedangkan Outer Competencies, adalah hard skills guru, yaitu sebuah kompetensi mengelola potensi dari luar diri guru, yaitu: menyiapkan materi pelajaran, mengelola kelompok, menyampaikan pelajaran, mengkondisikan kelas. Dengan kedua kompetensi tersebut, penerapannya dalam kegiatan belajar-mengajar akan menghasilkan peserta didik yang memiliki hard skills, yakni pengetahuan (knowledge); keterampilan (skills), dan soft skills yang berupa kemampuan interpersonal, intrapersonal, ekstrapersonal.
Kesegeraan berubah seperti yang diharapkan, tidak mudah terjadi. Hal itu dikarenakan adanya bayang-bayang yang menghambat kemampuan guru untuk mengadakan perubahan, di antaranya adalah pembatasan kemampuan yang diciptakan oleh guru itu sendiri, seperti ungkapan: ”Apa saya mampu melaksanakan perubahan semacam itu?” Sejatinya pertanyaan tersebut telah dijawab Thomas Gordon (1975) yang menyatakan:”Teacher is not born, but built”, artinya pelaksanaan tugas, peranan dan fungsi guru dapat dibentuk, dilatih. Karena memang kemampuan tersebut tidak dibawa seseorang dari lahir. Sesungguhnyalah setiap orang dapat menjadikan dirinya seperti apa yang dia mau. Karena semua anak cerdas (Armstrong, 2005), dan Gardner (dalam Dryden & Voss, 2001) kecerdasan tersebut bersifat jamak Lewat beragam kecerdasan itulah seseorang memiliki peluang untuk mewujudkan kemauannya.
Perwujudan diri guru sebagai bentuk dari kemauannya dikuatkan oleh Satre, seorang filosuf, yang mengatakan: ”I choose there for I am”, aku adalah pilihanku, dan karenanya aku bertanggung jawab atas pilihanku. Menurut Robert T. Kiyosaki (dalam Amir Tengku Ramli, 2005) pilihan kemauan guru tersebut masuk dalam cakupan paradigma guru, yang dapat dikelompokkan dalam 2 tipe dasar, yakni paradigma to have (memiliki) dan paradigma to be (menjadi).

Dikatakan bahwa paradigma To Have (memiliki) merupakan suatu gagasan atau pola pikir seseorang yang cenderung dan mengutamakan pada kebutuhan materi, sedangkan paradigma To Be (menjadi) adalah gagasan atau pola pikir yang cenderung pada nilai-nilai non materi. Dengan demikian kedua paradigma tersebut memiliki penghuni yang berbeda, sesuai dengan cara pandang guru terhadap pekerjaannya. Bertolak cara guru memandang pekerjaannya dapat dikelompokkan dalam 4(empat) kuadran utama, yakni: guru pekerja, guru profesional, tercakup dalam paradigma To Have, dan guru pemilik, dan guru perancang, masuk dalam paradigma To Be, yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Paradigma To Have, meliputi:
Kuadran 1: Guru Pekerja.
Guru pada kuadran 1, adalah mereka yang sebatas melaksanakan pekerjaannya. Kondisi guru ini menyukai kemapanan, rutinitas yang menjadi tanggung jawabnya, tidak ada keinginan untuk berubah. Kalaupun ada keinginan berubah hanya sebatas kata-kata. Perilaku yang ditampakkan adalah ’mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda’.
Kuadran 2: Guru Profesional.
Guru yang memiliki profesionalitas, dengan harga tertentu. Termasuk dalam kuadran ini ialah guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang dengan pekerjaan mandiri, tidak rutin tapi memuaskan. Perilaku yang ditampakkan adalah ’mengajar dengan cara yang sama, tentang hal yang berbeda, kepada orang yang berbeda’.
Paradigma To Be, meliputi:
Kuadran 3: Guru Pemilik.
Guru yang ahli (expert), menjadi pusat intelektual dan mampu mengendalikan sistem. Dikatakan sebagai guru pemilik ialah apabila guru memiliki keahlian (pemilik), tidak hanya terkait dengan pengajaran, tetapi juga memiliki kemampuan mengendalikan sistem, sehingga guru pemiliki merupakan menjadi bagian dari kelompok pengambil keputusan. Pada kuadran ini guru menjalankan sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi kemajuan lembaga.
Kuadran 4: Guru Perancang.
Disebut sebagai guru perancang ialah mereka yang memahami makna profesinya, memiliki visi dan merancang pengajaran secara hidup. Karenanya guru dalam kuadran ini berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran, bersifat inovatif, senang pada ide/gagasan inovatif yang menjadikan diri guru sangat berarti.
Ditilik berdasarkan kuadran guru, keadaan guru yang ada sekarangan ini cenderung berada pada paradigma To Have, dan sedang diupayakan kearah kuadran 2, yaitu guru profesional sebagaimana dimaksud dengan sertifikasi guru. Oleh karena itu mengingat apa yang kita lakukan sekarang ini adalah untuk kepentingan masa depan, maka ke depan perlu diupayakan perpindahan dari paradigma dari To Have ke To Be. Untuk melakukan perpindahan paradigma ini, guru harus melakukan perubahan secara mendasar, yaitu cara pandang terhadap pengajaran, bahwasanya pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya adalah sebuah profesi yang terus menerus memerlukan perubahan seiring dengan perkembangan jaman, kalaulah tak ingin profesi ini tenggelam dalam perubahan jaman. Prahalad mengatakan: ”If you don’t change, you die!” suatu peringatan yang realistis.
Upaya ke arah terjadinya suatu perubahan, tidak selalu mulus jalannya. Banyak hambatan yang dijumpai, dan tak sedikit usaha yang mengalami kegagalan. Menyikapi kegagalan yang mungkin dialami guru dalam upayanya mewujudkan perubahan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, guru dapat berguru dari pengalaman, baik pengalaman diri sendiri, kolega maupun para tokoh. Sebut saja pengalaman Thomas Alva Edison. Terhadap pengalamannya dalam menciptakan bola lampu ia mengatakan bahwa:”Satu persen inspirasi, sembilan puluh sembilan usaha keras.” Selanjutnya Edison menegaskan bahwa dirinya tidak pernah gagal, ia hanya butuh proses penemuan sebanyak 2000 kali (Nistain Odop, 2007).
Seperti diketahui bahwa penciptaan bola lampu baru berhasil pada percobaan yang ke 2001 kali. Dengan kata lain, bila dilihat dari satu sisi (negatif), Thomas Alva Edison mengalami kegagalan sebanyak 2000 kali. Tetapi dari sisi yang lain (positif), kegagalan tidak dirasakan sebagai upaya yang gagal, tetapi dikatakan bahwa ia menemukan 2000 cara yang salah dalam menciptakan bola lampu. Cara pandang ini berdampak pada aspek psikologis, seseorang tidak lantas patah semangat akan usaha yang dilakukan, sebaliknya akan menimbulkan motivasi baru dalam bentuk tindakan yang inovatif dan kreatif.
Pada umumnya orang terkagum-kagum atas prestasi yang diraih oleh seseorang dalam suatu bidang tertentu, seperti Thomas Alfa Edison tersebut. Kecenderungan orang tidak menaruh perhatian terhadap proses yang dialami Edison sampai dengan dia berhasil menemukan bola lampu tersebut. Dua ribu kali percobaan belum menemukan cara yang benar dalam menciptakan bola lampu, tidak menarik minat banyak orang untuk mempersoalkan, misalnya bagaimana menjaga diri agar tetap bersemangat? Bagaimana cara menemukan ide-ide kreatif ke arah cara baru yang harus ditempuh? dst. Kebanyakan orang lebih suka berbicara tentang hasil, daripada proses. Padahal suatu hasil dapat diwujudkan hanya melalui proses. Karenanyalah proses harus dijadikan pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang paling baik.
Berguru pada Pengalaman
Pengalaman Thomas Alfa Edison mengajarkan kepada kita, bahwa ia tidak menyoal seberapa sering kegagalan dialami, tetapi mengajarkan kepada kita berapa kali ia mampu bangkit dari kegagalan. (Dua ribu kali bukan?). Di sini juga mengandung arti bahwa bangkit dari kegagalan memiliki arti tidak mengulangi cara yang salah, tetapi mencoba banyak cara (dua ribu cara) yang dicoba, dan akhirnya cara yang ke- 2001 itulah cara yang benar, dan akhirnya diperoleh suatu keberhasilan. Pernahkah anda mengalami kegagalan? Seberapa banyak kali anda mampu bangkit?
Kebangkitan dari kegagalan sejatinya ada rasa kesusahan, ketidaknyamanan tetapi ada upaya untuk ke luar dari ketaknyamanan tersebut. Sebagaimana layaknya orang pada umumya, Thomas Alva Edison pastilah juga merasakan hal yang tidak mengenakan sewaktu mengalami ketidakberhasilan dari suatu usaha yang dijalankan. Akan tetapi dirinya tidak fokus pada masalah sewaktu menghadapi masalah, akan tetapi fokus pada solusi. Masalah sesungguhnya bukanlah masalah, tetapi sikap seseorang dalam memandang masalah itulah masalah yang sebenarnya. Jika seseorang tidak mempersoalkan masalah, masalah bukan masalah (Nistains Odop, 2007). Dan bahkan untuk suatu kemajuan, orang harus berani keluar dari zona aman, zona nyaman, dan mampu bertahan dalam zona tak aman tersebut sampai dengan diperolehnya zona aman baru. Ke luar dari zona aman adalah masalah.
Zona aman, nyaman yang diperoleh sesorang pada saat sekarang belum tentu aman, dan nyaman untuk masa depan. Karena itu berani ke luar dari zona aman merupakan langkah awal menuju ke zona aman, nyaman selanjutnya. Dengan demikian ketidaknyamanan dalam rangka memperoleh suatu perubahan adalah proses mendapatkan kenyamanan baru. Karena itu, kesulitan, kesusahan, dan bahkan kegagalan yang kesemuanya merupakan bentuk ketaknyamanan tidak boleh dirasakan sebagai sesuatu yang menghambat, tetapi seharusnyalah diterima sebagai satu paket dengan keberhasilan. Kegagalan dan keberhasilan ibarat dua sisi mata uang. Dari contoh kasus penemuan bola lampu di atas, Thomas Alva Edison akan dapat dikatakan gagal dalam menemukan bola lampu manakala ia berhenti pada eksperimennya yang ke-2000. Tetapi ia mampu bangkit dan melakukan eksperimen yang ke 2001 kali, dan akhirnya berhasil. Dengan demikian jarak antara kegagalan dan keberhasilan sangatlah tipis.
Memang, kadang upaya kreatif untuk menciptakan sesuatu yang baru mengundang komentar-komentar miring dari lingkungan, menjadi bahan gunjingan dan bahkan tertawaan. Sebut saja si Alexander Graham Bell misalnya, ia ditertawakan dan ditolak oleh presiden direktur perusahaan Western Union sewaktu meminta harga US$ 100.000 untuk karyanya. Dan kenyataan berbicara lain, bisnis Bell kemudian menjadi jutaan dollar dan perusahaan AT&T lahir (Nistains Odop, 2007).
Mejadi yang Terbaik
Sampai saat ini jumlah orang sekelas Thomas Alva Edison maupun Alexander Graham Bell hanya sedikit. Mereka minoritas. Hal ini menandakan bahwa untuk mencapai suatu puncak prestasi tidak mudah, butuh ketahanan, keuletan usaha di atas rata-rata orang pada umumnya. Tetapi sewaktu keberhasilan sudah dicapai, terbukti seseorang akan mendapatkan ”pahala” yang tidak terperkirakan sebelumnya.
Sebagai calon guru dan guru, masing-masing memiliki hak untuk memilih dan menempati kuadran tertentu yang dikehendaki. Namun demikian ada ”kewajiban” yang harus dipenuhi manakala dirinya tidak ingin seperti orang pada umumnya. Dalam profesi guru, dan profesi apapun yang kita jumpai, pastilah ada kelompok minoritas di dalamnya. Kelompok minoritas menunjuk pada mereka yang secara kuantitas paling sedikit jumlahnya, namun memiliki kualitas yang lebih tinggi dan pastinya akan diikuti konsekuensi logisnya, seperti pendapatan yang lebih banyak, dsb.
Paparan di atas hendak menunjukkan sebab-sebab keberhasilan mencapai puncak usaha yang disingkat STM BB FM ME sebagai berikut:
  1. Sikap dan cara memandang sesuatu dari sisi positif.
  2. Tidak mudah menyerah, ada motivasi untuk sukses..
  3. Masalah diterima sebagai kesatuan dari keberhasilan.
  4. Berani mencoba sesuatu yang baru secara cerdas.
  5. Berani mengambil resiko, keluar dari zona nyaman.
  6. Fokus pada solusi, tidak terbelenggu pada masalah, ataupun kejayaan pada masa lalu.
  7. Memiliki etos kerja yang baik, aktif, kreatif.
  8. Memiliki banyak informasi.
  9. Etos kerja yang baik.
Faktor-faktor penyebab keberhasilan tersebut merupakan peneguhan terhadap keyakinan para calon guru dan guru bahwa menjadi guru adalah pilihan yang tepat. Selain tugas kemanusiaan yang amat mulia dan ladang ibadah yang tinggi nilainya, profesi ini juga dapat mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi pelakunya jika mereka dapat menempati posisi minoritas.
 
Kepustakaan:
Amir Tengku Ramli. 2005. Menjadi Guru Kaya melalui Perubahan paradigma To Be Quadran. Bekasi: Pustaka Inti.
Gordon Dryden & Jeannete Vos .2001. Revolusi Cara Belajar. Bandung: KIFA
Krathwohl, Bloom, Masia. 1973. Bahan Penataran Kurikulum Berbasis Kompetensi. UMK
Nistain Odop. 2007. Gagal Itu Baik. Built Your Own Potential with Power Fail. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tony Buzan. 2005. Brain Child. Cara Pintar Membuat Anak Menjadi Pintar. Jakarta: Gramedia
Taufik Tea. 2009. Inspiring Teaching. Mendidik Penuh Inspirasi. Jakarta: Gema Insani.
Thomas Armstrong. 2005. Setiap Anak Cerdas. Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intelligece-nya. Jakarta: Gramedia.

 http://uki-edukita.blogspot.com/2010/03/normal-0-false-false-false.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar