YOU CAN BE ANYTHING, AND BE MINORITY!
Oleh Sukiman
Kontribusi Pendidikan
Tidak
berlebihan predikat sebagai pengawal masa depan bangsa diberikan kepada
guru. Pasalnya, pendidikan masih diyakini secara umum sebagai
cara terbaik untuk mempersiapkan generasi masa depan. Masa depan adalah milik generasi
muda saat ini, oleh karena itu bagaimana kondisi generasi masa depan
sangat ditentukan oleh kualitas peserta didik yang saat ini masih di
meja pendidikan. Demikian pula halnya, kondisi para pemangku kepentingan
(stake holder) saat ini dari lapisan bawah sampai dengan lapisan
atas adalah cermin dari ”keberhasilan” pendidikan masa lalu, setidaknya
pendidikan yang diterima pada masa lalu berkontribusi terhadap
keberadaan mereka saat ini. Jika sekarang ini ada yang menjadi koruptor,
manipulator, dll., menunjukkan ada sesuatu yang salah dari proses
pendidikan yang mereka terima pada masa lalu.
Dan karena itu, apabila produk antagonis pendidikan tersebuttelah
mewarnai kebanyakan orang, patut dipertanyakan dan mendapat perhatian
dari insan pendidikan terkait dengan sistem penyelenggaraan pendidikan
yang dijalankan selama ini.
Suatu hal yang terterima secara umum dinyatakan bahwa pendidikan
yang berhasil ditandai, salah satunya adalah produk kelulusan siswa.
Siswa yang bermutu adalah siswa yang terukur mutu pendidikannya. Dalam
prakteknya mutu pendidikan diukur dari angka-
angka
yang diperoleh lulusan setelah mereka menempuh satu tahapan belajar
dalam kurun waktu tertentu (UTS/UAS) ataupun ujian akhir nasional (UAN).
Sementara alat ukur penentu kualitas lulusan berupa paper and pencil test,
suatu alat ukur yang hanya terkait dengan salah satu aspek pendidikan,
yaitu kognisi. Sementara aspek lain, khususnya afeksi tak terjangkau
dengan alat ukur tersebut. Pada hal aspek afektif berbicara tentang
pertumbuhan perasaan, nilai-nilai, apresiasi, antusiasme, motivasi dan
sikap (Krathwohl, Bloom, Masia, 1973). Satu aspek yang keberadaannya
sangat dibutuhkan agar seseorang dapat hidup dengan nyaman dengan
lingkungan (to life together). Pendidikan yang mengembangkan aspek
kognisi, dalam prakteknya mengutamakan rangsangan pada aspek
logika-matematika dan
bahasa serta keterampilan, sejatinya baru memberdayakan otak kiri.
Sementara itu otak kanan yang notabene berisi daya kreatif, seni,
imajinasi, angan-angan, dan ”melihat gambaran secara menyeluruh” belum
mendapat rangsangan yang sama sebagaimana perangsangan yang diberikan
pada belahan otak kanan. Ketimpangan perlakuan pendidikan ini diangkat
dalam suatu perumpamaan apik oleh Tony Buzan (2005), pemilik hak paten Mind Mapping, sebagai berikut:
”Jika
kami meminta Anda untuk berlari jarak pendek dengan ”seluruh
kemampuan”, yaitu menggunakan kedua tangan dan kedua kaki, dan kami
merekam penampilan Anda untuk mengamati efisiensi Anda, barangkali Anda
akan melakukannya sesuai dengan aturan yang baik, atau bahkan sangat
baik. Tetapi jika kami meminta Anda untuk mengulangi kegiatan ini,
dengan hanya memperbolehkan Anda menggunakan separo kemampuan Anda.
Untuk itu, kami mengikat pergelangan tangan kanan Anda ke pergelangan
kaki kanan Anda dan meminta Anda untuk mengulangi lari jarak pendek. De
ngan
setengah dari kemampuan yang Anda miliki, apakah hasil yang Anda capai
juga menjadi setengah efektifnya? Jelas tidak. Hasil yang dicapai akan
berkurang keefektifannya.”
Dari
penjelasan Tony Buzan tersebut menengarai bahwa jika aktivitas berfikir
hanya menggunakan daya dari satu belahan otak, diibaratkan seseorang
berdiri dan berlari dengan satu kaki. Oleh karena pemberdayaan kedua
belahan otak, sinergi otak kanan dan kiri, akan menjadikan hasil kerja
lebih efektif.
Masalah Pembaharuan dalam Pendidikan
Penyikapan segera untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan tersebut mendesak untuk segera dilakukan. Sat u
langkah ke arah perbaikan dilakukan pemerintah, dimulai dari pengubahan
paradigma pendidikan, yakni dari pembelajaran yang berorientasi kepada
guru (Teacher Centered Oriented) berubah ke pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (Student Centered Learning),
yang dikenal dengan pembelajaran berdasarkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), dan konsekuensi logisnya terkait dengan kurikulum yang
semula berbasis isi (KBI) berubah pada kompetensi. Perubahan dari KBI
ke KBK dalam prakteknya tidak serta merta dapat dilaksanakan oleh pelaku
pendidikan. Hal ini dikarenakan pengubahan kebiasaan lama ke kebiasaan
baru menyangkut kepemilikan penguasaan pengetahuan terhadap sesuatu yang
baru, menuntut keterampilan baru dalam mengaplikan pengetahuan, dan yang tak kalah penting adalah keinginan (good will) pelaku pendidikan untuk melaksanakan perubahan. Pemerolehan kebiasaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Ketiga faktor penentu pembentuk kebiasaan baru,
yakni pengetahuan, keterampilan, dan keinginan keberadaannya merupakan
satu kesatuan yang mengikat satu dengan yang lainnya. Sebab pengetahuan
tanpa keterampilan dalam menerapkan pengetahuan, hanya berhenti pada
tataran teori. Sebaliknya penerapan keterampilan tanpa landasan teori
akan menghasilkan tindakan yang bersifat coba-coba. Dan kedua faktor
disebut pertama tidak akan ada maknanya manakala tidak ada faktor
ketiga, ialah keinginan dari subjek untuk melaksanakannya.
Ada dua kompetensi yang diperlukan oleh guru untuk
menimbulkan dorongan kuat untuk mewujudkan keinginan melakukan kegiatan,
yaitu Inner Competencies, dan Outer Competencies (Taufik Tea, 2009).
Inner Competencies
meliputi kecakapan dalam mengelola hal-hal yang berhubungan dengan
dunia internal guru, mencakup kemampuan memahami hakikat belajar,
meresapi hakikat mengajar, mengetahui prinsip belajar dan mengenali
peserta belajar. Kecakapan ini disebut sebagai soft skills guru. Sedangkan Outer Competencies, adalah hard skills guru,
yaitu sebuah kompetensi mengelola potensi dari luar diri guru, yaitu:
menyiapkan materi pelajaran, mengelola kelompok, menyampaikan pelajaran,
mengkondisikan kelas. Dengan kedua kompetensi tersebut, penerapannya
dalam kegiatan belajar-mengajar akan menghasilkan peserta didik yang
memiliki hard skills, yakni pengetahuan (knowledge); keterampilan (skills), dan soft skills yang berupa kemampuan interpersonal, intrapersonal, ekstrapersonal.
Kesegeraan
berubah seperti yang diharapkan, tidak mudah terjadi. Hal itu
dikarenakan adanya bayang-bayang yang menghambat kemampuan guru untuk
mengadakan perubahan, di antaranya adalah pembatasan kemampuan yang
diciptakan oleh guru itu sendiri, seperti ungkapan: ”Apa saya mampu
melaksanakan perubahan semacam itu?” Sejatinya pertanyaan tersebut telah
dijawab Thomas Gordon (1975) yang menyatakan:”Teacher is not born, but built”,
artinya pelaksanaan tugas, peranan dan fungsi guru dapat dibentuk,
dilatih. Karena memang kemampuan tersebut tidak dibawa seseorang dari
lahir. Sesungguhnyalah setiap orang dapat menjadikan dirinya seperti apa
yang dia mau. Karena semua anak cerdas (Armstrong, 2005), dan Gardner
(dalam Dryden & Voss, 2001) kecerdasan tersebut bersifat jamak Lewat
beragam kecerdasan itulah seseorang memiliki peluang untuk mewujudkan
kemauannya.
Perwujudan diri guru sebagai bentuk dari kemauannya dikuatkan oleh Satre, seorang filosuf, yang mengatakan: ”I choose there for I am”, aku adalah pilihanku, dan karenanya aku bertanggung jawab atas pilihanku. Menurut Robert T. Kiyosaki (dalam
Amir Tengku Ramli, 2005) pilihan kemauan guru tersebut masuk dalam
cakupan paradigma guru, yang dapat dikelompokkan dalam 2 tipe dasar, yakni paradigma to have (memiliki) dan paradigma to be (menjadi).
Dikatakan bahwa paradigma To Have
(memiliki) merupakan suatu gagasan atau pola pikir seseorang yang
cenderung dan mengutamakan pada kebutuhan materi, sedangkan paradigma To Be
(menjadi) adalah gagasan atau pola pikir yang cenderung pada
nilai-nilai non materi. Dengan demikian kedua paradigma tersebut
memiliki penghuni yang berbeda, sesuai dengan cara pandang guru terhadap
pekerjaannya. Bertolak cara guru memandang pekerjaannya dapat
dikelompokkan dalam 4(empat) kuadran utama, yakni: guru pekerja, guru
profesional, tercakup dalam paradigma To Have, dan guru pemilik, dan
guru perancang, masuk dalam paradigma To Be, yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
Paradigma To Have, meliputi:
Kuadran 1: Guru Pekerja.
Guru
pada kuadran 1, adalah mereka yang sebatas melaksanakan pekerjaannya.
Kondisi guru ini menyukai kemapanan, rutinitas yang menjadi tanggung
jawabnya, tidak ada keinginan untuk berubah. Kalaupun ada keinginan
berubah hanya sebatas kata-kata. Perilaku yang ditampakkan adalah ’mengajar dengan cara yang sama tentang hal yang sama kepada orang yang berbeda’.
Kuadran 2: Guru Profesional.
Guru
yang memiliki profesionalitas, dengan harga tertentu. Termasuk dalam
kuadran ini ialah guru yang menyukai tantangan dalam mengajar. Senang
dengan pekerjaan mandiri, tidak rutin tapi memuaskan. Perilaku yang
ditampakkan adalah ’mengajar dengan cara yang sama, tentang hal yang berbeda, kepada orang yang berbeda’.
Paradigma To Be, meliputi:
Kuadran 3: Guru Pemilik.
Guru yang ahli (expert),
menjadi pusat intelektual dan mampu mengendalikan sistem. Dikatakan
sebagai guru pemilik ialah apabila guru memiliki keahlian (pemilik),
tidak hanya terkait dengan pengajaran, tetapi juga memiliki kemampuan
mengendalikan sistem, sehingga guru pemiliki merupakan menjadi bagian
dari kelompok pengambil keputusan. Pada kuadran ini guru menjalankan
sistem secara strategis, untuk mengendalikan diri dan orang lain bagi
kemajuan lembaga.
Kuadran 4: Guru Perancang.
Disebut
sebagai guru perancang ialah mereka yang memahami makna profesinya,
memiliki visi dan merancang pengajaran secara hidup. Karenanya guru
dalam kuadran ini berfungsi sebagai perancang masa depan pengajaran,
bersifat inovatif, senang pada ide/gagasan inovatif yang menjadikan diri
guru sangat berarti.
Ditilik berdasarkan kuadran guru, keadaan guru yang ada sekarangan ini cenderung berada pada paradigma To Have,
dan sedang diupayakan kearah kuadran 2, yaitu guru profesional
sebagaimana dimaksud dengan sertifikasi guru. Oleh karena itu mengingat
apa yang kita lakukan sekarang ini adalah untuk kepentingan masa depan,
maka ke depan perlu diupayakan perpindahan dari paradigma dari To Have ke To Be.
Untuk melakukan perpindahan paradigma ini, guru harus melakukan
perubahan secara mendasar, yaitu cara pandang terhadap pengajaran,
bahwasanya pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya adalah sebuah
profesi yang terus menerus memerlukan perubahan seiring dengan
perkembangan jaman, kalaulah tak ingin profesi ini tenggelam dalam
perubahan jaman. Prahalad mengatakan: ”If you don’t change, you die!” suatu peringatan yang realistis.
Upaya
ke arah terjadinya suatu perubahan, tidak selalu mulus jalannya. Banyak
hambatan yang dijumpai, dan tak sedikit usaha yang mengalami kegagalan.
Menyikapi kegagalan yang mungkin dialami guru dalam upayanya mewujudkan
perubahan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, guru dapat
berguru dari pengalaman, baik pengalaman diri sendiri, kolega maupun
para tokoh. Sebut saja pengalaman Thomas Alva Edison. Terhadap
pengalamannya dalam menciptakan bola lampu ia mengatakan bahwa:”Satu
persen inspirasi, sembilan puluh sembilan usaha keras.” Selanjutnya
Edison menegaskan bahwa dirinya tidak pernah gagal, ia hanya butuh
proses penemuan sebanyak 2000 kali (Nistain Odop, 2007).
Seperti
diketahui bahwa penciptaan bola lampu baru berhasil pada percobaan yang
ke 2001 kali. Dengan kata lain, bila dilihat dari satu sisi (negatif),
Thomas Alva Edison mengalami kegagalan sebanyak 2000 kali. Tetapi dari
sisi yang lain (positif), kegagalan tidak dirasakan sebagai upaya yang
gagal, tetapi dikatakan bahwa ia menemukan 2000 cara yang salah dalam
menciptakan bola lampu. Cara pandang ini berdampak pada aspek
psikologis, seseorang tidak lantas patah semangat akan usaha yang
dilakukan, sebaliknya akan menimbulkan motivasi baru dalam bentuk
tindakan yang inovatif dan kreatif.
Pada
umumnya orang terkagum-kagum atas prestasi yang diraih oleh seseorang
dalam suatu bidang tertentu, seperti Thomas Alfa Edison tersebut.
Kecenderungan orang tidak menaruh perhatian terhadap proses yang dialami
Edison sampai dengan dia berhasil menemukan bola lampu tersebut. Dua
ribu kali percobaan belum menemukan cara yang benar dalam menciptakan
bola lampu, tidak menarik minat banyak orang untuk mempersoalkan,
misalnya bagaimana menjaga diri agar tetap bersemangat? Bagaimana cara
menemukan ide-ide kreatif ke arah cara baru yang harus ditempuh? dst.
Kebanyakan orang lebih suka berbicara tentang hasil, daripada proses.
Padahal suatu hasil dapat diwujudkan hanya melalui proses. Karenanyalah
proses harus dijadikan pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang
paling baik.
Berguru pada Pengalaman
Pengalaman
Thomas Alfa Edison mengajarkan kepada kita, bahwa ia tidak menyoal
seberapa sering kegagalan dialami, tetapi mengajarkan kepada kita berapa
kali ia mampu bangkit dari kegagalan. (Dua ribu kali bukan?). Di sini
juga mengandung arti bahwa bangkit dari kegagalan memiliki arti tidak
mengulangi cara yang salah, tetapi mencoba banyak cara (dua ribu cara)
yang dicoba, dan akhirnya cara yang ke- 2001 itulah cara yang benar, dan
akhirnya diperoleh suatu keberhasilan. Pernahkah anda mengalami
kegagalan? Seberapa banyak kali anda mampu bangkit?
Kebangkitan
dari kegagalan sejatinya ada rasa kesusahan, ketidaknyamanan tetapi ada
upaya untuk ke luar dari ketaknyamanan tersebut. Sebagaimana layaknya
orang pada umumya, Thomas Alva Edison pastilah juga merasakan hal yang
tidak mengenakan sewaktu mengalami ketidakberhasilan dari suatu usaha
yang dijalankan. Akan tetapi dirinya tidak fokus pada masalah sewaktu
menghadapi masalah, akan tetapi fokus pada solusi. Masalah sesungguhnya
bukanlah masalah, tetapi sikap seseorang dalam memandang masalah itulah
masalah yang sebenarnya. Jika seseorang tidak mempersoalkan masalah,
masalah bukan masalah (Nistains Odop, 2007). Dan bahkan untuk suatu
kemajuan, orang harus berani keluar dari zona aman, zona nyaman, dan
mampu bertahan dalam zona tak aman tersebut sampai dengan diperolehnya
zona aman baru. Ke luar dari zona aman adalah masalah.
Zona
aman, nyaman yang diperoleh sesorang pada saat sekarang belum tentu
aman, dan nyaman untuk masa depan. Karena itu berani ke luar dari zona
aman merupakan langkah awal menuju ke zona aman, nyaman selanjutnya.
Dengan demikian ketidaknyamanan dalam rangka memperoleh suatu perubahan
adalah proses mendapatkan kenyamanan baru. Karena itu, kesulitan,
kesusahan, dan bahkan kegagalan yang kesemuanya merupakan bentuk
ketaknyamanan tidak boleh dirasakan sebagai sesuatu yang menghambat,
tetapi seharusnyalah diterima sebagai satu paket dengan keberhasilan.
Kegagalan dan keberhasilan ibarat dua sisi mata uang. Dari contoh kasus
penemuan bola lampu di atas, Thomas Alva Edison akan dapat dikatakan
gagal dalam menemukan bola lampu manakala ia berhenti pada eksperimennya
yang ke-2000. Tetapi ia mampu bangkit dan melakukan eksperimen yang ke
2001 kali, dan akhirnya berhasil. Dengan demikian jarak antara kegagalan
dan keberhasilan sangatlah tipis.
Memang,
kadang upaya kreatif untuk menciptakan sesuatu yang baru mengundang
komentar-komentar miring dari lingkungan, menjadi bahan gunjingan dan
bahkan tertawaan. Sebut saja si Alexander Graham Bell misalnya, ia
ditertawakan dan ditolak oleh presiden direktur perusahaan Western Union
sewaktu meminta harga US$ 100.000 untuk karyanya. Dan kenyataan
berbicara lain, bisnis Bell kemudian menjadi jutaan dollar dan
perusahaan AT&T lahir (Nistains Odop, 2007).
Mejadi yang Terbaik
Sampai
saat ini jumlah orang sekelas Thomas Alva Edison maupun Alexander
Graham Bell hanya sedikit. Mereka minoritas. Hal ini menandakan bahwa
untuk mencapai suatu puncak prestasi tidak mudah, butuh ketahanan,
keuletan usaha di atas rata-rata orang pada umumnya. Tetapi sewaktu
keberhasilan sudah dicapai, terbukti seseorang akan mendapatkan ”pahala”
yang tidak terperkirakan sebelumnya.
Sebagai
calon guru dan guru, masing-masing memiliki hak untuk memilih dan
menempati kuadran tertentu yang dikehendaki. Namun demikian ada
”kewajiban” yang harus dipenuhi manakala dirinya tidak ingin seperti
orang pada umumnya. Dalam profesi guru, dan profesi apapun yang kita
jumpai, pastilah ada kelompok minoritas di dalamnya. Kelompok minoritas
menunjuk pada mereka yang secara kuantitas paling sedikit jumlahnya,
namun memiliki kualitas yang lebih tinggi dan pastinya akan diikuti
konsekuensi logisnya, seperti pendapatan yang lebih banyak, dsb.
Paparan di atas hendak menunjukkan sebab-sebab keberhasilan
mencapai puncak usaha yang disingkat STM BB FM ME sebagai berikut:
- Sikap dan cara memandang sesuatu dari sisi positif.
- Tidak mudah menyerah, ada motivasi untuk sukses..
- Masalah diterima sebagai kesatuan dari keberhasilan.
- Berani mencoba sesuatu yang baru secara cerdas.
- Berani mengambil resiko, keluar dari zona nyaman.
- Fokus pada solusi, tidak terbelenggu pada masalah, ataupun kejayaan pada masa lalu.
- Memiliki etos kerja yang baik, aktif, kreatif.
- Memiliki banyak informasi.
- Etos kerja yang baik.
Faktor-faktor
penyebab keberhasilan tersebut merupakan peneguhan terhadap keyakinan
para calon guru dan guru bahwa menjadi guru adalah pilihan yang tepat.
Selain tugas kemanusiaan yang amat mulia dan ladang ibadah yang tinggi
nilainya, profesi ini juga dapat mendatangkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi pelakunya jika mereka dapat menempati posisi minoritas.
Kepustakaan:
Amir Tengku Ramli. 2005. Menjadi Guru Kaya melalui Perubahan paradigma To Be Quadran. Bekasi: Pustaka Inti.
Gordon Dryden & Jeannete Vos .2001. Revolusi Cara Belajar. Bandung: KIFA
Krathwohl, Bloom, Masia. 1973. Bahan Penataran Kurikulum Berbasis Kompetensi. UMK
Nistain Odop. 2007. Gagal Itu Baik. Built Your Own Potential with Power Fail. Yogyakarta: Media Pressindo.
Tony Buzan. 2005. Brain Child. Cara Pintar Membuat Anak Menjadi Pintar. Jakarta: Gramedia
Taufik Tea. 2009. Inspiring Teaching. Mendidik Penuh Inspirasi. Jakarta: Gema Insani.
Thomas Armstrong. 2005. Setiap Anak Cerdas. Panduan Membantu Anak Belajar dengan Memanfaatkan Multiple Intelligece-nya. Jakarta: Gramedia.http://uki-edukita.blogspot.com/2010/03/normal-0-false-false-false.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar