Zoom
Satu
Wajahnya oriental, kecantikannya begitu khas. Kemudaannya hampir dikalahkan oleh keredupan sinar matanya. Ia bertutur dengan perlahan, mengungkapkan bahwa ia telah ‘salah terlahir’. Keburukan nenek moyangnya menurun padanya, tapi kebaikan-kebaikan mereka diturunkan pada sepupu-sepupunya. Tidak ada hal bagus sama sekali bisa ditemukannya dari dirinya. Di tengah kegundahannya ia berkata, “jadi manusia amat menyakitkan. Kesedihan dan kesepian datang tiba-tiba. Keramaian apapun tidak bisa menolong….”
Dua
Ia tergolek di ranjang salah satu rumah sakit yang terbaik untuk menangani pasien kanker di Jakarta. Bagi keluarga dan kerabatnya, kondisi ibu cantik ini amat memukul. Ia orang yang punya selera humor tinggi, tangguh menghadapi penderitaan hidup, termasuk keretakan rumah tangganya, dan ia sukses dalam berkarir. Sekarang, tubuhnya kurus, payudara dan lengan sebelah kanannya bengkak. Kanker payudara membuatnya ambruk, setiap gerakan kecil membuatnya kesakitan. Obat pereda nyeri dimasukan ke dalam infusnya, untuk mengurangi penderitaannya. Dokter mengatakan sudah tidak sanggup melakukan operasi, karena jaringan parasit yang ganas sudah menyebar. Jalan terakhir: kemoterapi. Sebuah langkah yang amat menakutkan baginya. Meski dalam pengaruh obat, membuatnya terus mengantuk, air mata menetes deras saat berjumpa dengan orang-orang yang mencintainya. Ia bilang tidak ingin dikasihani…
Pain & Tears
Sahabat, Anda pernah mengalami apa yang dirasakan sahabat-sahabat kita dalam zoom di atas? Kesedihan dan kesepian yang mendatangi Anda, nyaris setiap hari… Atau penyakit yang bersarang di tubuh Anda, yang sama sekali tidak Anda undang, yang menggerogoti bukan saja organ Anda, tapi semangat hidup Anda? Apakah Anda setuju bahwa menjadi manusia itu bisa begitu menyakitkan? Kita bisa senyum dan tertawa, tapi di saat lain, air mata yang rasanya asin (Anda pernah mencobanya, air mata terasa asin, lho!) kemudian mengalir seperti sungai melewati pipi dan bahkan leher Anda. Mata kita memang bisa begitu berbinar, penuh gairah hidup dan kegembiraan. Namun di sisi lain, sinar mata kita bisa begitu redup. Meskipun tubuh kita tergolong sehat, dan aneka imunisasi sudah pernah diberikan, namun sakit-penyakit masih bisa mampir mengganggu. Ada Sahabat yang begitu mengikuti pola hidup yang sehat, dan Anda hidup baik-baik (semoga Anda paham maksudnya). Tapi bisa saja Anda mendapatkan warisan sakit dari orang tua, apakah Anda terinfeksi HIV sejak lahir atau susunan genetis tertentu. Anda tidak memintanya, tapi Anda terlahir berbeda dengan orang kebanyakan, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Tubuh manusia bisa mendatangkan aneka kenikmatan. Lidah kita bisa merasakan kelezatan makanan enak, dan kulit kita mudah terbuai dengan kesejukan dan kelembutan. Tapi di sisi lain, tubuh kita bisa mendatangkan kenyerian yang tidak terperikan. Di satu sisi, kita bisa begitu hidup, bergembira, menikmati, dan merasakan aneka kebaikan, tetapi di sisi lain, kita bisa sungguh menginginkan kematian, merasa amat menderita, dan terpuruk. Saat-saat yang membuar kita ‘dipaksa’ untuk memahami, selain aneka kebahagiaan terlahir menjadi manusia, ada banyak kepedihan yang perlu kita tanggung.
Apa saja kepedihan besar yang perlu kita tanggung sebagai manusia? Saya membaginya ke dalam 3 besaran pokok:
1. Kita terikat pada waktu, punya kenangan dan impian
2. Kita terikat pada tempat dan hukum-hukum yang berlaku di dunia, karena kita tinggal di sini
3. Kita bersifat fana, tidak kekal, kita bersifat mortal, bisa mati
Time: Kenangan dan Impian
Kita terikat waktu. Bagi Sahabat yang sedang amat bosan, meskipun Anda tidak suka, waktu tetap 24 jam sehari bagi Anda. Sama dengan Sahabat Anda yang sedang amat bahagia, sehingga 24 jam terasa kurang, tetap hanya 24 jam sehari. Meskipun penghayatan setiap orang tentang waktu berbeda-beda, ada yang waktu dihayati amat lambat (umum pada lansia) atau amat cepat (umum pada bayi dan anak-anak), namun kita tetap mengikuti alur waktu. Saat ini adalah sekarang. Sebelum sekarang adalah masa lalu, dan setelah sekarang adalah masa depan. Mengenai konsep waktu, ada 3 tipe orang (dibagi dalam penekanan salah satu waktu dalam hidupnya):
1. Orang yang digerakkan dengan kenangan-kenangan (masa lalu)
Amat mungkin kita memiliki kenangan yang amat berbekas dalam hidup kita. Cukup banyak orang memiliki pengalaman indah, kemudian ingin hidup dalam kenangan itu terus. Pengalaman ketika kita disayang, dicintai, diinginkan, dimanja. Positifnya, kenangan itu memberikan kita kekuatan untuk menjalani masa kini, karena memahami sejarah bahwa kita pernah memiliki masa kanak-kanak yang indah. Negatifnya? Ada juga. Bila kita menjadi enggan untuk bertumbuh dewasa, dengan embel-embel semua tanggung jawab yang dibebankan kepada kita. Lebih enak jadi anak kecil, daripada jadi anak besar (nah, lho!). Bagaimana dengan pengalaman buruk? Ada yang sampai saat ini masih hidup dalam rasa sakit hati dan dendam, karena perlakuan buruk yang pernah diterima di masa lalu. Sudah berlalu (dari segi waktu), tapi tetap hidup dalam kenangan itu, sehingga kegetirannya masih dirasakan sampai saat ini. Atau ada pula yang justru sebaliknya, kenangan buruk di masa lalu dijadikan pemicu untuk menjalani kehidupan saat ini. Ada teman yang pernah bilang, “Dulu orang tua gue perlakukan gue jelek banget. Sekarang anak gue kudu dapat orang tua yang baik.”
2. Orang yang digerakkan dengan masa kini
Orang-orang masa kini, digerakkan dengan apa yang dihadapi pada masa ini. Ada yang tidak segan-segan hidup hedon, mengejar kenikmatan, bersenang-senang. Ada yang memutuskan untuk bekerja keras, untuk hidup saat ini, boro-boro mikir menabung. Sekarang saja lapar tidak bisa belikan makanan untuk anak, mau mikir apa lagi? Positifnya, menikmati masa kini apa adanya, spontan, dan tidak terlalu terbeban (baik terbeban masa lalu maupun masa depan). Negatifnya? Ada juga, tidak berpikir panjang. Bukannya berpikir “nanti bagaimana?” melainkan “bagaimana nanti”. Artinya? Bisa nekat, bisa mengambil keputusan yang gegabah.
3. Orang yang digerakkan dengan impian (masa depan)
Orang-orang masa depan, digerakkan untuk mencapai impian-impian jangka panjang. Ikut asuransi jiwa selama 15 tahun, mengumpulkan tabungan sebanyak-banyaknya untuk bayar anak kuliah nanti (sekarang anaknya masih di perut), membeli 2 petak tanah kuburan di pemakaman internasional (untuk rumah kalau nanti mati), membuat tabungan untuk hal tidak terduga, yang saldonya sudah bisa untuk jalan-jalan keliling dunia 2 kali, dan sudah mencicil rumah untuk nanti kalau menikah (padahal sekarang baru saja putus sama pacar di semester 2 kuliah). Positifnya? Prepare, siap, sudah direncanakan. Negatifnya? Ada juga. Tidak spontan, memandang hidup terlalu berat, dan tegang.
So, bagaimana menyikapi waktu? Philip Zimbardo, psikolog yang karya-karyanya amat saya kagumi, setelah meluncurkan buku THE LUCIFER EFFECT yang disusunnya dari hasil penelitian, kemudian meluncurkan THE TIME PARADOX. Ia mengemukakan 3 kunci: reclaim yesterday, enjoy today, and master tomorrow. Bagaimana masa lalu kita maknai ulang, masa kini bisa sungguh kita nikmati, dan masa depan kita persiapkan untuk yang terbaik. Keseimbangan ini menjadi sebuah catatan penting.
Tempat dan Hukum Dunia
Sebagai manusia, kita terikat semua aturan main yang dilekatkan kepada kita selama hidup di dunia. Apa saja? Kita tunduk pada hukum gravitasi. Kalau loncat dari ketinggian, Anda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas (hanya superman yang diijinkan tidak patuh pada hukum ini). Suka atau tidak suka, kita tunduk pada hukum tanam dan tuai. Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Anda menanam sawo, jangan harap menuai duren, kecuali ada tetangga baik hati membawakan untuk Anda (diberi). Belajar dari sejarah, kita dicelikkan untuk melihat ini secara amat nyata. Louis XV hidup mewah dan selirnya amat dimanjakan, ketika rakyat Prancis amat miskin. Ia menanam apa? Bibit bagi terjadinya revolusi Prancis. Ia meninggal karena cacar air, sementara penerusnya, Louis XVI dan istrinya, Maria Antoinette dijatuhi hukuman mati dalam revolusi di Prancis. Apa yang kita tanam bertentangan dengan nilai luhur, entah kapan waktunya sudah siap, maka akan dituai juga yang buruk. Ada teman yang berkata, “meski caranya salah, tapi kan tujuannya benar.” Siapa bilang? Bukan hasil justru yang utama, tapi proses bagaimana mencapai hasil itu… kalau prosesnya salah, caranya salah, pasti hasilnya juga salah, itulah hukum, mengikat kita semua. Mengapa ini jadi kepedihan kita sebagai manusia? Karena kecenderungan kita untuk melakukan kesalahan. Kesalahan wajar dilakukan, kemudian bertobat, dan diperbaiki. Bagaimana kalau salah, kemudian tidak bertobat, dan malah menutupi kesalahan serapat-rapatnya sampai rela melakukan kesalahan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya? Terlalu mengerikan untuk mencobanya.
Sudah beberapa waktu ini saya banyak mengajak klien-klien untuk belajar dari opa dan oma lanjut usia. Caranya? Dengan bertanya kepada mereka, tentang apa yang menjadi sari pembelajaran dalam hidup mereka. Bertanya kepada 1 orang, kemudian yang lain lagi, dan yang lain lagi. Kita akan menemukan pola yang terpampang jelas. Apa yang paling penting dalam hidup, apa yang seringkali menjadi topik penyesalan dalam hidup, apa kebaikan dan keburukan yang manusia bisa lakukan dalam hidup. Anda tidak akan pernah menyesali berbincang-bincang dengan para opa dan oma ini. Kehidupan ini digerakkan dengan prinsip-prinsip. Siapa berjalan sesuai prinsip, akan ikut. Yang tidak bisa ikut prinsip, akan disingkirkan. Kalau mau berhasil, harus siap kerja keras. Kalau bisa ikut, Anda dapat. Kalau tidak bisa, maka keberhasilan hanya impian. Sebegitu sederhana, namun justru seringkali tidak terlihat. Bagaimana manusia bertumbuh dari janin, lahir jadi bayi, kemudian kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan mati, semua mengajarkan prinsip-prinsip ini.
Fana: Kisah Tentang Ketidakkekalan Kita
Anda punya avatar di dunia maya? Sosok ideal yang Anda buat untuk menjadi ‘Anda lain’ yang lebih sempurna, lebih cantik/ tampan, lebih pintar, lebih hebat dan kuat, lebih terkenal, dan yang pasti IMORTAL. Avatar Anda abadi, tidak bisa mati. Sedangkan Anda dan saya, kita bisa mati. Saya pernah sungguh berjumpa dengan seorang yang amat takut mati. Setiap hari, ia minum aneka obat dan vitamin, sampai 15 butir setiap hari untuk menjaga staminanya. Ada vitamin mata, ada untuk kulit, ada vitamin C, ada vitamin E, ada kapsul untuk pencernaan, ada obat anti darah tinggi, belum obat-obatan anti depresan yang diresepkan psikiaternya. Banyak. Ia mengatakan, ia tidak boleh mati sekarang, karena kalau mati sekarang, ia pasti masuk neraka. Saya tanyakan, apa yang membuatnya berpikir demikian, dan ia menjawab, “Gue belum pernah melakukan kebaikan apapun dalam hidup gue. Satu-satunya hal baik yang gue lakukan adalah melalui avatar di dunia maya (yang ia buat di game on line-maksudnya), menyelamatkan orang lemah dari monster-monster. Selebihnya tidak ada.”
Memang menyakitkan, menyadari bahwa keberadaan kita di dunia ini hanya sementara saja. Bahwa apa yang kita lakukan saat ini, akan digantikan oleh orang-orang lain. Bahwa apa yang kita tanam saat ini, mungkin bukan kita yang rasakan, tapi penerus-penerus kita? Bahwa apa-apa yang menjadi miliki kita saat ini, sesungguhnya bukanlah milik kita yang hakiki? Bahwa kita tidak kekal dan pada waktu yang ditetapkan kita begitu saja akan ‘dipanggil pulang’ oleh yang menciptakan kita? Dan bahwa dunia ini (sekarang ataupun dunia yang baru) akan tetap baik-baik saja, dengan ada atau tidak adanya kita? Membuat kesombongan kita sebagai manusia tidak ada artinya sama sekali. Membuat kita sadar bahwa ‘kita hanyalah manusia’, kita bagian dari ciptaan, kita tidak bisa menjadi Tuhan. Kita membuat amat banyak lapisan pelindung, supaya kita bisa hidup enak dan mewah sampai 7 turunan, supaya kita tidak menjadi tua, supaya kita tidak kesakitan, supaya kita tidak mati, atau kalau toh kita mati, akan ada duplikat kita dengan peta kromosom yang persis sama. Hasilnya? Mari kita lihat di sekitar kita.
Kehidupan
Jadi, untuk apa kita hidup? Dengan semua kenyerian hidup sebagai manusia? Seorang pria bermata coklat mengatakan kepada saya “hidup itu untuk dimurnikan, untuk dimurnikan memang kita dikondisikan pada kondisi seperti sekarang, ada naik turunnya, ada misterinya, ada manisnya, ada pahit-getirnya.” Ada yang mengatakan hidup adalah lomba. Lomba apa? Perlombaan yang masih misteri kategori pemenangnya. Yang jelas, pemenang kehidupan bukanlah yang paling cepat, yang paling kuat, yang paling seksi/ cantik/ tampan, yang paling terkenal, yang paling kaya, yang paling berkuasa, yang paling pintar. Jadi pemenangnya siapa, donk? Yang paling murni… Yang mana yang paling murni? Yuk berporses bersama menemukannya, menemukan makna dari kehidupan kita.
Selamat menjalani kehidupan, dan memenangkan kehidupan Anda dan semakin dimurnikan….
Selamat mencintai dan selamat berkarya!
Jakarta, di rumah, sedang mengalami nyeri kepala akibat flu, 24 Maret 2014
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director Ad Familia Indonesia
www.adfamilia-indonesia.com
adfamilia.indonesia@gmail.com
Satu
Wajahnya oriental, kecantikannya begitu khas. Kemudaannya hampir dikalahkan oleh keredupan sinar matanya. Ia bertutur dengan perlahan, mengungkapkan bahwa ia telah ‘salah terlahir’. Keburukan nenek moyangnya menurun padanya, tapi kebaikan-kebaikan mereka diturunkan pada sepupu-sepupunya. Tidak ada hal bagus sama sekali bisa ditemukannya dari dirinya. Di tengah kegundahannya ia berkata, “jadi manusia amat menyakitkan. Kesedihan dan kesepian datang tiba-tiba. Keramaian apapun tidak bisa menolong….”
Dua
Ia tergolek di ranjang salah satu rumah sakit yang terbaik untuk menangani pasien kanker di Jakarta. Bagi keluarga dan kerabatnya, kondisi ibu cantik ini amat memukul. Ia orang yang punya selera humor tinggi, tangguh menghadapi penderitaan hidup, termasuk keretakan rumah tangganya, dan ia sukses dalam berkarir. Sekarang, tubuhnya kurus, payudara dan lengan sebelah kanannya bengkak. Kanker payudara membuatnya ambruk, setiap gerakan kecil membuatnya kesakitan. Obat pereda nyeri dimasukan ke dalam infusnya, untuk mengurangi penderitaannya. Dokter mengatakan sudah tidak sanggup melakukan operasi, karena jaringan parasit yang ganas sudah menyebar. Jalan terakhir: kemoterapi. Sebuah langkah yang amat menakutkan baginya. Meski dalam pengaruh obat, membuatnya terus mengantuk, air mata menetes deras saat berjumpa dengan orang-orang yang mencintainya. Ia bilang tidak ingin dikasihani…
Pain & Tears
Sahabat, Anda pernah mengalami apa yang dirasakan sahabat-sahabat kita dalam zoom di atas? Kesedihan dan kesepian yang mendatangi Anda, nyaris setiap hari… Atau penyakit yang bersarang di tubuh Anda, yang sama sekali tidak Anda undang, yang menggerogoti bukan saja organ Anda, tapi semangat hidup Anda? Apakah Anda setuju bahwa menjadi manusia itu bisa begitu menyakitkan? Kita bisa senyum dan tertawa, tapi di saat lain, air mata yang rasanya asin (Anda pernah mencobanya, air mata terasa asin, lho!) kemudian mengalir seperti sungai melewati pipi dan bahkan leher Anda. Mata kita memang bisa begitu berbinar, penuh gairah hidup dan kegembiraan. Namun di sisi lain, sinar mata kita bisa begitu redup. Meskipun tubuh kita tergolong sehat, dan aneka imunisasi sudah pernah diberikan, namun sakit-penyakit masih bisa mampir mengganggu. Ada Sahabat yang begitu mengikuti pola hidup yang sehat, dan Anda hidup baik-baik (semoga Anda paham maksudnya). Tapi bisa saja Anda mendapatkan warisan sakit dari orang tua, apakah Anda terinfeksi HIV sejak lahir atau susunan genetis tertentu. Anda tidak memintanya, tapi Anda terlahir berbeda dengan orang kebanyakan, dan itu sama sekali tidak menyenangkan. Tubuh manusia bisa mendatangkan aneka kenikmatan. Lidah kita bisa merasakan kelezatan makanan enak, dan kulit kita mudah terbuai dengan kesejukan dan kelembutan. Tapi di sisi lain, tubuh kita bisa mendatangkan kenyerian yang tidak terperikan. Di satu sisi, kita bisa begitu hidup, bergembira, menikmati, dan merasakan aneka kebaikan, tetapi di sisi lain, kita bisa sungguh menginginkan kematian, merasa amat menderita, dan terpuruk. Saat-saat yang membuar kita ‘dipaksa’ untuk memahami, selain aneka kebahagiaan terlahir menjadi manusia, ada banyak kepedihan yang perlu kita tanggung.
Apa saja kepedihan besar yang perlu kita tanggung sebagai manusia? Saya membaginya ke dalam 3 besaran pokok:
1. Kita terikat pada waktu, punya kenangan dan impian
2. Kita terikat pada tempat dan hukum-hukum yang berlaku di dunia, karena kita tinggal di sini
3. Kita bersifat fana, tidak kekal, kita bersifat mortal, bisa mati
Time: Kenangan dan Impian
Kita terikat waktu. Bagi Sahabat yang sedang amat bosan, meskipun Anda tidak suka, waktu tetap 24 jam sehari bagi Anda. Sama dengan Sahabat Anda yang sedang amat bahagia, sehingga 24 jam terasa kurang, tetap hanya 24 jam sehari. Meskipun penghayatan setiap orang tentang waktu berbeda-beda, ada yang waktu dihayati amat lambat (umum pada lansia) atau amat cepat (umum pada bayi dan anak-anak), namun kita tetap mengikuti alur waktu. Saat ini adalah sekarang. Sebelum sekarang adalah masa lalu, dan setelah sekarang adalah masa depan. Mengenai konsep waktu, ada 3 tipe orang (dibagi dalam penekanan salah satu waktu dalam hidupnya):
1. Orang yang digerakkan dengan kenangan-kenangan (masa lalu)
Amat mungkin kita memiliki kenangan yang amat berbekas dalam hidup kita. Cukup banyak orang memiliki pengalaman indah, kemudian ingin hidup dalam kenangan itu terus. Pengalaman ketika kita disayang, dicintai, diinginkan, dimanja. Positifnya, kenangan itu memberikan kita kekuatan untuk menjalani masa kini, karena memahami sejarah bahwa kita pernah memiliki masa kanak-kanak yang indah. Negatifnya? Ada juga. Bila kita menjadi enggan untuk bertumbuh dewasa, dengan embel-embel semua tanggung jawab yang dibebankan kepada kita. Lebih enak jadi anak kecil, daripada jadi anak besar (nah, lho!). Bagaimana dengan pengalaman buruk? Ada yang sampai saat ini masih hidup dalam rasa sakit hati dan dendam, karena perlakuan buruk yang pernah diterima di masa lalu. Sudah berlalu (dari segi waktu), tapi tetap hidup dalam kenangan itu, sehingga kegetirannya masih dirasakan sampai saat ini. Atau ada pula yang justru sebaliknya, kenangan buruk di masa lalu dijadikan pemicu untuk menjalani kehidupan saat ini. Ada teman yang pernah bilang, “Dulu orang tua gue perlakukan gue jelek banget. Sekarang anak gue kudu dapat orang tua yang baik.”
2. Orang yang digerakkan dengan masa kini
Orang-orang masa kini, digerakkan dengan apa yang dihadapi pada masa ini. Ada yang tidak segan-segan hidup hedon, mengejar kenikmatan, bersenang-senang. Ada yang memutuskan untuk bekerja keras, untuk hidup saat ini, boro-boro mikir menabung. Sekarang saja lapar tidak bisa belikan makanan untuk anak, mau mikir apa lagi? Positifnya, menikmati masa kini apa adanya, spontan, dan tidak terlalu terbeban (baik terbeban masa lalu maupun masa depan). Negatifnya? Ada juga, tidak berpikir panjang. Bukannya berpikir “nanti bagaimana?” melainkan “bagaimana nanti”. Artinya? Bisa nekat, bisa mengambil keputusan yang gegabah.
3. Orang yang digerakkan dengan impian (masa depan)
Orang-orang masa depan, digerakkan untuk mencapai impian-impian jangka panjang. Ikut asuransi jiwa selama 15 tahun, mengumpulkan tabungan sebanyak-banyaknya untuk bayar anak kuliah nanti (sekarang anaknya masih di perut), membeli 2 petak tanah kuburan di pemakaman internasional (untuk rumah kalau nanti mati), membuat tabungan untuk hal tidak terduga, yang saldonya sudah bisa untuk jalan-jalan keliling dunia 2 kali, dan sudah mencicil rumah untuk nanti kalau menikah (padahal sekarang baru saja putus sama pacar di semester 2 kuliah). Positifnya? Prepare, siap, sudah direncanakan. Negatifnya? Ada juga. Tidak spontan, memandang hidup terlalu berat, dan tegang.
So, bagaimana menyikapi waktu? Philip Zimbardo, psikolog yang karya-karyanya amat saya kagumi, setelah meluncurkan buku THE LUCIFER EFFECT yang disusunnya dari hasil penelitian, kemudian meluncurkan THE TIME PARADOX. Ia mengemukakan 3 kunci: reclaim yesterday, enjoy today, and master tomorrow. Bagaimana masa lalu kita maknai ulang, masa kini bisa sungguh kita nikmati, dan masa depan kita persiapkan untuk yang terbaik. Keseimbangan ini menjadi sebuah catatan penting.
Tempat dan Hukum Dunia
Sebagai manusia, kita terikat semua aturan main yang dilekatkan kepada kita selama hidup di dunia. Apa saja? Kita tunduk pada hukum gravitasi. Kalau loncat dari ketinggian, Anda akan jatuh ke bawah, bukan ke atas (hanya superman yang diijinkan tidak patuh pada hukum ini). Suka atau tidak suka, kita tunduk pada hukum tanam dan tuai. Apa yang ditanam, itulah yang dituai. Anda menanam sawo, jangan harap menuai duren, kecuali ada tetangga baik hati membawakan untuk Anda (diberi). Belajar dari sejarah, kita dicelikkan untuk melihat ini secara amat nyata. Louis XV hidup mewah dan selirnya amat dimanjakan, ketika rakyat Prancis amat miskin. Ia menanam apa? Bibit bagi terjadinya revolusi Prancis. Ia meninggal karena cacar air, sementara penerusnya, Louis XVI dan istrinya, Maria Antoinette dijatuhi hukuman mati dalam revolusi di Prancis. Apa yang kita tanam bertentangan dengan nilai luhur, entah kapan waktunya sudah siap, maka akan dituai juga yang buruk. Ada teman yang berkata, “meski caranya salah, tapi kan tujuannya benar.” Siapa bilang? Bukan hasil justru yang utama, tapi proses bagaimana mencapai hasil itu… kalau prosesnya salah, caranya salah, pasti hasilnya juga salah, itulah hukum, mengikat kita semua. Mengapa ini jadi kepedihan kita sebagai manusia? Karena kecenderungan kita untuk melakukan kesalahan. Kesalahan wajar dilakukan, kemudian bertobat, dan diperbaiki. Bagaimana kalau salah, kemudian tidak bertobat, dan malah menutupi kesalahan serapat-rapatnya sampai rela melakukan kesalahan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya? Terlalu mengerikan untuk mencobanya.
Sudah beberapa waktu ini saya banyak mengajak klien-klien untuk belajar dari opa dan oma lanjut usia. Caranya? Dengan bertanya kepada mereka, tentang apa yang menjadi sari pembelajaran dalam hidup mereka. Bertanya kepada 1 orang, kemudian yang lain lagi, dan yang lain lagi. Kita akan menemukan pola yang terpampang jelas. Apa yang paling penting dalam hidup, apa yang seringkali menjadi topik penyesalan dalam hidup, apa kebaikan dan keburukan yang manusia bisa lakukan dalam hidup. Anda tidak akan pernah menyesali berbincang-bincang dengan para opa dan oma ini. Kehidupan ini digerakkan dengan prinsip-prinsip. Siapa berjalan sesuai prinsip, akan ikut. Yang tidak bisa ikut prinsip, akan disingkirkan. Kalau mau berhasil, harus siap kerja keras. Kalau bisa ikut, Anda dapat. Kalau tidak bisa, maka keberhasilan hanya impian. Sebegitu sederhana, namun justru seringkali tidak terlihat. Bagaimana manusia bertumbuh dari janin, lahir jadi bayi, kemudian kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, dan mati, semua mengajarkan prinsip-prinsip ini.
Fana: Kisah Tentang Ketidakkekalan Kita
Anda punya avatar di dunia maya? Sosok ideal yang Anda buat untuk menjadi ‘Anda lain’ yang lebih sempurna, lebih cantik/ tampan, lebih pintar, lebih hebat dan kuat, lebih terkenal, dan yang pasti IMORTAL. Avatar Anda abadi, tidak bisa mati. Sedangkan Anda dan saya, kita bisa mati. Saya pernah sungguh berjumpa dengan seorang yang amat takut mati. Setiap hari, ia minum aneka obat dan vitamin, sampai 15 butir setiap hari untuk menjaga staminanya. Ada vitamin mata, ada untuk kulit, ada vitamin C, ada vitamin E, ada kapsul untuk pencernaan, ada obat anti darah tinggi, belum obat-obatan anti depresan yang diresepkan psikiaternya. Banyak. Ia mengatakan, ia tidak boleh mati sekarang, karena kalau mati sekarang, ia pasti masuk neraka. Saya tanyakan, apa yang membuatnya berpikir demikian, dan ia menjawab, “Gue belum pernah melakukan kebaikan apapun dalam hidup gue. Satu-satunya hal baik yang gue lakukan adalah melalui avatar di dunia maya (yang ia buat di game on line-maksudnya), menyelamatkan orang lemah dari monster-monster. Selebihnya tidak ada.”
Memang menyakitkan, menyadari bahwa keberadaan kita di dunia ini hanya sementara saja. Bahwa apa yang kita lakukan saat ini, akan digantikan oleh orang-orang lain. Bahwa apa yang kita tanam saat ini, mungkin bukan kita yang rasakan, tapi penerus-penerus kita? Bahwa apa-apa yang menjadi miliki kita saat ini, sesungguhnya bukanlah milik kita yang hakiki? Bahwa kita tidak kekal dan pada waktu yang ditetapkan kita begitu saja akan ‘dipanggil pulang’ oleh yang menciptakan kita? Dan bahwa dunia ini (sekarang ataupun dunia yang baru) akan tetap baik-baik saja, dengan ada atau tidak adanya kita? Membuat kesombongan kita sebagai manusia tidak ada artinya sama sekali. Membuat kita sadar bahwa ‘kita hanyalah manusia’, kita bagian dari ciptaan, kita tidak bisa menjadi Tuhan. Kita membuat amat banyak lapisan pelindung, supaya kita bisa hidup enak dan mewah sampai 7 turunan, supaya kita tidak menjadi tua, supaya kita tidak kesakitan, supaya kita tidak mati, atau kalau toh kita mati, akan ada duplikat kita dengan peta kromosom yang persis sama. Hasilnya? Mari kita lihat di sekitar kita.
Kehidupan
Jadi, untuk apa kita hidup? Dengan semua kenyerian hidup sebagai manusia? Seorang pria bermata coklat mengatakan kepada saya “hidup itu untuk dimurnikan, untuk dimurnikan memang kita dikondisikan pada kondisi seperti sekarang, ada naik turunnya, ada misterinya, ada manisnya, ada pahit-getirnya.” Ada yang mengatakan hidup adalah lomba. Lomba apa? Perlombaan yang masih misteri kategori pemenangnya. Yang jelas, pemenang kehidupan bukanlah yang paling cepat, yang paling kuat, yang paling seksi/ cantik/ tampan, yang paling terkenal, yang paling kaya, yang paling berkuasa, yang paling pintar. Jadi pemenangnya siapa, donk? Yang paling murni… Yang mana yang paling murni? Yuk berporses bersama menemukannya, menemukan makna dari kehidupan kita.
Selamat menjalani kehidupan, dan memenangkan kehidupan Anda dan semakin dimurnikan….
Selamat mencintai dan selamat berkarya!
Jakarta, di rumah, sedang mengalami nyeri kepala akibat flu, 24 Maret 2014
Mona Sugianto, M.Psi, Psikolog
Managing Director Ad Familia Indonesia
www.adfamilia-indonesia.com
adfamilia.indonesia@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar